SURABAYA – Problem mengenai pengelolaan lingkungan menjadi isu yang tidak bisa lagi dianggap sebelah mata. Pasalnya, apabila tidak dieksekusi dengan baik maka akan membuahkan tindakan yang memiliki konsekuensi lingkungan dan kesehatan yang besar. Di sinilah peran pemerintah kemudian hadir.
Dalam suatu diskusi terbuka, Wahyu Eka Setyawan selaku direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur menyorot perkara ini. Wahyu menegaskan bahwa negara punya tanggung jawab dalam problematika pencemaran.
“Pemerintah sebagai pemegang kebijaksanaan nasional dalam pengelolaan lingkungan hidup tetap memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, ” ujar pegiat Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) tersebut, Kamis (21/7/2022).
Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengkoordinasi kebijakan terkait pencemaran lingkungan. “Hal ini tercermin pada semisal, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), ” tambah Wahyu. Prinsipnya, UU PPLH memayungi tiga prinsip yaitu pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan lingkungan. Tentunya prinsip ini tidak lain untuk melindungi hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Penulis aktif tersebut menjelaskan bahwa jika dilihat secara substantif, UU PPLH mengandung beragam pasal yang penting dalam perlindungan lingkungan. Selain pengakuan atas prinsip lingkungan hidup dan hak masyarakat, UU ini juga berperan dalam memperkuat hukum lingkungan. Tak ketinggalan juga, institusi serta mekanisme perizinan dalam pengelolaan lingkungan diatur dalam UU ini. Wahyu juga merujuk pada aturan internasional yang menjadi dasar pengelolaan lingkungan hidup, yaitu Deklarasi Rio.
“Pada dasarnya, terdapat tiga hal yang jadi hak masyarakat, yaitu akses terhadap informasi lingkungan, partisipasi publik dalam pembentukan kebijakan, dan akses terhadap keadilan, ” jelas Wahyu.
Baca juga:
Anggota Kodim Surabaya Timur Bersih Bersih
|
Pengelolaan yang tidak baik mengakibatkan degradasi lingkungan. (Foto: Forest Digest)
Persoalannya, substansi dari UU PPLH maupun hak masyarakat kini terancam terlebih dengan hadirnya Omnibus Law. Wahyu merinci di antaranya, pemerintah kini membatasi peran aktivis dan pengamat dalam penyusunan amdal karena bukan jadi bagian ‘masyarakat terdampak langsung’.
Selain itu, Komisi Penilai Amdal dihapuskan dan tidak ada penegasan informasi soal kelayakan lingkungan hidup. Pemerintah pusat juga mengurangi peran pemerintah daerah dalam menjalankan pengawasan dan pengenaan sanksi.
Hal tersebut menyebabkan implementasi UU PPLH menjadi tidak optimal. Ketidakoptimalan ini juga berakar dari tidak sinkronnya regulasi pemerintah dan institusinya. Misalnya bahwa UU PPLH tidak sinkron dengan UU Minerba, UU Kelautan, dan sebagainya. Belum lagi, konflik kepentingan yang kental di ranah pemerintahan dan penurunan tingkat demokrasi memperparah pengelolaan lingkungan hidup yang baik.
Pemaparan oleh Wahyu Eka Setyawan ini merupakan bagian dari sesi ‘REACT: Legal Bootcamp 2022’ yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR) dengan bertajuk ‘Meninjau Masalah Pencemaran Lingkungan Akibat Limbah Industri’. Dengan kolaborasi antar sub-lembaga seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FH UNAIR dan Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), diskusi ini mengusung tema-tema besar yang menjadi isu utama masyarakat terkini. (*)
Penulis: Deanita Nurkhalisa
Editor: Binti Q. Masruroh